Total Tayangan Halaman

Rabu, 23 Mei 2012

Ketekunan Ali ling sang Petani Sayur


‘Beli sayur nggak bu… beli sayur nggak bik…’ ucap  Ali Sabirin ketika menawarkan sayur keliling di Kampung Babo, Jambo rambung dan Harum sari, kampung-kampung yang berada di sekitar Kecamatan Bandar Pusaka Kabupaten Aceh Tamiang.

Ali sabirin  lebih akrab disapa Ali ling. Beliau dulunya  seorang sopir yang bekerja di Medan dan pernah menjadi sopir angkutan umum ‘Jumbo’ di Babo - Kuala Simpang. Ali ling yang merupakan keturunan Tamiang dan saat ini tinggal di Kampung Babo telah menekuni bertani sayur sejak tahun 2009. Ali ling tidak memiliki lahan sendiri, ia hanya dipinjami lahan oleh saudaranya  seluas 5 rante yang ditanami kacang panjang, kangkung, bayam, timun dan jagung. Sayur-sayuran ini yang kemudian dijual keliling tiga kali seminggu. Awalnya ragu dan malu untuk berjualan keliling namun lama-lama menjadi terbiasa. Saat itu Ali ling belum memiliki sepeda motor sehingga harus meminjam motor tetangga untuk jualan keliling. Ia mampu membeli motor sendiri setelah dua bulan jualan sayur. Hasil penjualan sayur disisihkan sebagian untuk membayar angsuran motor tiap bulan.

Ketekunan Ali ling terlihat dari aktifitasnya sehari-hari. Setiap pagi ia memulai kegiatannya dengan deres karet yang dilakukan sampai siang hari, kemudian beristirahat sebentar, setelah itu ia berkebun. Jika hari itu adalah jadwal jualan keliling, maka ia mempersiapkan bahan-bahan yang hendak dijual dengan mengutip hasil kebun, menimbang, mengikat sayuran  dan menata kedalam tempat sayur. Bahkan jika hasil kebun sangat banyak maka ia dibantu oleh satu orang untuk menimbang sayuran-sayuran yang hendak dijual. Setelah semuanya siap maka ia mulai jualan.

‘Saya mau beli sayuran tapi belum ada uang’ ucap seorang ibu. ‘Ambil aja bik, nggak apa-apa.. saya besok kan masih kemari lagi’ jawab Ali ling. Kadang kejadian seperti ini ditemui ketika sedang jualan dan Ali ling sangat memahami kondisi masyarakat. Saat mereka belum menjual hasil kebunnya (Karet atau coklat) maka mereka belum punya uang namun Ali ling mempersilahkan ibu-ibu ini untuk mengambil dulu sayuran yang ia jual.

Ali ling sangat menikmati kehidupannya sebagai petani sayur. Ia  merasakan kenyamanan dalam bekerja. ‘Bukan orang lain yang mengatur hidup dan penghasilan kita namun diri kita sendiri yang menentukan’ demikian ungkap Ali ling. 
Ada banyak keuntungan yang ia rasakan sebagai petani sayur antara lain: ia bisa selalu dekat dengan keluarga, ada penghasilan rutin yang ia dapatkan dari berkebun, keluarga dapat menikmati hasil kebun kapan saja sehingga kebutuhan gizi keluarga tercukupi dan anggota keluarga menjadi sehat, selain itu ia dapat menabung bahkan dapat membeli tanah untuk tapak rumah.
Dibalik semua kenyamanan yang ia rasakan, sesungguhnya Ali ling memiliki kendala  yaitu sampai sekarang ia belum memiliki lahan sendiri. Ia mengerjakan lahan orang lain yang dipinjamkan kepadanya, namun ia selalu bekerja keras dan berusaha dengan tekun atas pilihan pekerjaannya. Hal ini berdampak pada masyarakat disekitarnya yang berangsur-angsur mengikuti jejak Ali ling dengan menanam sayuran di kebun mereka.

Keluarga menjadi bagian terpenting dari kehidupan Ali ling. Misnawati, sang istri selalu mendampingi Ali ling selama berkegiatan di kebun sayur. Begitu pula dengan Rama dan Alitira, kedua anak Ali ling inipun turut menemani di Kebun saat sang ayah sedang membersihkan rumput, menyiram tanaman dan memanen hasil kebun. Kebahagian ini dirasakan Ali ling manakala semua anggota keluarga dapat berkumpul bersama, bekerja dan merasakan nikmatnya hasil pekerjaan yang telah dilakukan bersama.



‘Kebahagiaan itu berawal dari kesederhanaan dan dukungan penuh cinta dari keluarga’

Selasa, 21 Februari 2012

Kader dan Relawan


“Ada issue tentang insentive satu juta perbulan untuk 3 kader kesehatan desa yang telah mendapatkan SK dari kecamatan, sedangkan kader lama tidak mendapatkan SK dan merasa tersinggung sehingga muncul persoalan di Kelompok” demikian ungkap seorang bidan desa di Babo, sebuah kampung di kecamatan Bandar pusaka, Kabupaten Aceh Tamiang.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia Kader memiliki arti “orang yang diharapkan akan memegang peran penting dalam pemerintahan, partai, dll”. Sehingga dapat diartikan juga bahwa kader merupakan calon, kandidat, bibit, bakal orang yang akan memegang peran penting. Sedangkan Relawan memiliki arti “orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela, tidak karena diwajibkan atau dipaksakan.” 
Pengkaderan merupakan proses mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader, yang dapat diistilahkan juga sebagai kaderisasi atau pembibitan yaitu proses memunculkan orang yang dapat memiliki peran penting (menengok kembali istilah kader dalam kamus besar). Berbeda dengan relawan, tidak ada istilah untuk ‘pengrelawanan atau relawanisasi’. Sehingga jika dibandingkan maka seharusnya kader ini akan lebih ‘kaya’ pengetahuan karena dalam proses pengkaderan pasti ada banyak input yang akan diberikan, berbeda dengan relawan yang hanya berhenti pada apa yang dia lakukan dengan sukarela.
Fakta yang ada bahwa kader hanya dipilih untuk menjalankan sesuatu tanpa ada proses pembentukan supaya kader ini dapat berkembang dan memegang peran yang penting. Selama ini mereka hanya sebatas menjalankan tugas.
Dua kata yang berbeda maknanya namun dalam penggunaanya sering ditempatkan pada posisi yang hampir sama, seperti halnya kader kesehatan desa dan relawan kesehatan desa.
***
Kembali pada cerita diatas, kader kesehatan di Babo akan mendapatkan SK dari Kecamatan Bandar pusaka dan akan mendapatkan insentive tiap bulan. Hal ini tidak pernah disosialisasikan dan dibicarakan Dinas terkait dengan Kader kesekatan Desa bersama Pemerintah desa, sehingga muncul banyak persepsi. Dari 13 orang hanya 3 orang yang mendapatkan SK. Sudah barang tentu ini menjadi pembicaraan menarik di kelompok, terlebih lagi karena ada kader lama namun tidak termasuk dalam 3 orang yang mendapatkan SK. Atmosfir kelompok menghangat. Hal ini tidak menjadi pertimbangan pemerintah dalam melakukan intervensi.  Pemerintah memberikan bantuan namun tidak mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masyarakat.
***
Istilah Relawan Kesehatan Desa (RKD) ini dipakai di Kelompok termasuk orang-orang yang telah sebelumnya dipilih Bidan desa menjadi Kader Kesehatan Desa (KKD) yang kemudian bergabung di Kelompok RKD. Namun istilah ini memang sangat berpengaruh terhadap pola pikir mereka. RKD telah cukup paham dengan pemahaman sebagai ‘Relawan’.  Namun anggota RKD yang sebelumnya sebagai ‘Kader’ pemahaman tentang kerelawanan memudar ketika ada bantuan karena mereka berambisi untuk bisa mendapatkan bantuan itu terutama jika bantuan itu untuk Kader Kesehatan.
Persoalan ini mampu diredam ditingkat kelompok. 3 RKD yang mendapatkan SK dari Kecamatan merasa bahwa ini milik bersama karena pelayanan kesehatan di kampung dilakukan bersama dan informasi tentang insentive 1 juta per bulan ini hanyalah issue yang telah membuat hubungan anggota kelompok sempat tegang. Semoga kedepan Pemerintah akan lebih bijak ketika berproses dalam memberikan dukungan kepada masyarakat sehingga dukungan tersebut tidak menjadi persoalan namun benar-benar dapat mendukung pengembangan program di masyarakat.


Kegiatan Posyandu di Babo, Aceh Tamiang


Kamis, 12 Januari 2012

Air Bersih Melidi

Sebuah proses panjang yang dilakukan oleh warga Melidi untuk dapat menikmati air bersih di desa. Sebuah kampung di Kecamatan Simpang jernih, Kabupaten Aceh timur  yang berada disekitar kawasan ekosistem Leuser.

Kurang lebih 4 km jalur pipa yang harus dipasang dari sumber air sampai ke desa. Medan yang berat menyebabkan proses pemasangan pipa memakan waktu sangat lama.

‘Jenuh’… kata ini sering terucap dari panitia pipanisasi yang selalu setia melakukan proses pemasangan pipa. Diantara ketidakpercayaan warga akan masuknya air bersih ke desa, panitia dengan susah payah ingin membuktikan kerja keras mereka. Bagi  mereka, jika air bersih ini sampai ke desa dan dapat dinikmati oleh banyak orang adalah sebuah kepuasan tersendiri.

***

Secara teknis, panitia ini tidak memiliki bekal dalam melakukan pemasangan pipa.  Proses pemasangan pipa dengan sistem gravitasi ini menjadi proses belajar yang cukup panjang.. dengan dibantu beberapa tenaga ahli dengan banyak pemikiran mereka selalu mencoba dan mencoba. Bahkan disaat hampir tidak ada harapan karena banyaknya kendala, panitia sampai melakukan hal-hal diluar akal pikiran mereka yaitu dengan membakar kemenyan dan hasilnya tetap saja nol.

***

Dengan kerja keras… proses panjang itu akhirnya membuahkan hasil. Pipanisasi yang dilakukan selama 3 tahun lebih akhirnya sampai ke desa. Namun proses ini belum berarti telah selesai. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan oleh panitia yaitu pemasangan pipa di kampung dan musyawarah tentang pengelolaan air bersih. 

***

Ibu-ibu lah yang kemudian mendorong dan juga terlibat dalam proses pemasangan pipa di kampung  karena mereka yang  paling merasakan  pentingnya air bersih. Selama ini sumber air bersih berasal dari sungai dan mata air yang letaknya agak jauh dari rumah dan harus melewati bukit. Supaya ketersediaan air ini tetap terjaga maka dibentuk kelompok pengelola air yang dipegang oleh ibu-ibu. Sedangkan masyarakat berpartisipasi melalui iuran yang dilakukan sebulan sekali untuk kas kelompok. Kas ini digunakan untuk perawatan instalasi air bersih.

Adanya akses air bersih sangat berpengaruh terhadap perilaku hidup bersih dan sehat yang mulai nampak berubah terutama pada ibu-ibu dan anak-anak dalam hal personal hygiene. Semoga hal ini akan berdampak terhadap penurun kasus penyakit yang disebabkan oleh ketersediaan air bersih di Melidi.

Sumber air yang dialirkan ke desa Melidi